Saya bukan sastrawan. Hanya seorang pecinta budaya yang merasa seperti penyusup di antara para maestro kata dan penjaga warisan sastra. Namun, dalam tiga hari yang sangat bermakna, 17–20 Juni 2025, saya diberi kesempatan untuk turut serta dalam kegiatan Dialog Serantau Borneo-Kalimantan yang diselenggarakan di Hotel Harris Samarinda.
Dengan mengangkat tema “Nusantara dan Penguatan Sastra Melayu: Merawat Estetika dan Didaktika,” forum ini menjadi ruang berharga bagi para sastrawan dari berbagai penjuru untuk saling bertukar pikiran, memperkuat eksistensi sastra Melayu di tengah arus budaya global yang deras dan cepat berubah. Dan saya—si pecinta yang bukan pelaku—diizinkan menyimak dari dekat rangkaian keren ini.
Momen paling berkesan adalah ketika saya akhirnya bisa bertemu langsung dengan Abah Iberamsyah Barbary, sastrawan senior asal Banjarmasin. Nama beliau sudah lama saya kenal lewat buku Madam dan Serumpun Ayat-Ayat Tuhan—sebuah karya yang begitu kuat menggetarkan dan menginspirasi saya hingga mampu menyelesaikan buku autobiografi pribadi saya yang berjudul Swan. Dulu saya hanya bisa berharap suatu hari bisa bersua. Hari ini, saya duduk sangat dekat dengan beliau. Rasanya seperti mimpi yang dijemput kenyataan.Terima kasih sebesar-besarnya kepada Mas Amien Wangsitalaja dan Mbak Fitriani Um Salva, yang telah membuka jalan dan memberi ruang bagi saya untuk ikut hanyut dalam arus sastra dan budaya di forum yang luar biasa ini.
Alhamdulillah. Saya pulang membawa banyak hal—bukan hanya catatan dan buku, tapi juga rasa syukur dan semangat baru untuk terus mencintai, menjaga, dan ikut melestarikan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar