Hari ini mengikuti kegiatan Forum Silaturahmi Pegiat Literasi, oleh komunitas pecinta buku dan perpustakaan Buku Etam, bersama nara sumber bapak Taufik, M.Si dan bapak Gunawan, bertempat di ruang Balai Pustaka, Kantor Dinas Perpusakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Sabtu, 28 April 2018.
Banyak masukan soal tentang TBM yang aku peroleh. dari pertemuan ini pulalah aku paham bahwa ijin operasional itu tidak terlalu penting, karena kebanyakan dari yang memiliki ijin operasional hanya ingin mengandalkan sebuah proyek yang bernilai ratusan juta. jika tujuan untuk sosial, jangan pernah takut, karena kita tidak sedang menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi. wahhh, jadi terharu gitu dengan semangat Bapak Gunawan dan Mbak Fira sang pendamping setia beliau.
Ada kisah dibalik pertanyaan yang saya ajukan "Apakah menurut pengalaman bapak Gunawan TBM yang tidak memiliki Ijin Operasional akan mendapat sansksi dikemudian Hari, dan apakah Ijin Operasional dan Akta Notaris menjadi kebutuhan pokok berdirinya sebuah TBM".
Ya, dua hari yang lalu, saya sedang mengurus proses ijin Operasional di Lembaga Instansi Pemerintah. saat mendapat telepon bahwa Ijin Operasional sudah bisa diambil. dengan langkah bahagia, sayapun menuju ke kantor tersebut. yang terjadi kemudian Surat Ijin Operasional tersebut batal diserahkan ke saya karena saya belum memiliki Akta Notaris. sedih sudah pasti karena kegiatan saya bersifat sosial dan tidak menggunakan dana negara sepeserpun, alhamdulillah setelah mendapat penjelasan dari Pak Gunawan, langkah saya kembali mantap untuk berbuat kebaikan untuk oarang-orang disekitar saya.
Alhamdulillah setahun berjalan TBM Iqro, tak menggunakan serupiahpun uang negara semua berasal dari rekan-rekan pegiat literasi. dan semoga semangat literasi untuk kebaikan tetap menyala dan tertular pada dua anak-anakku.
Gunawan Budi Susilo, by Amien Wangsitalaja
pecinta buku, pekerja media, dan kini mengelola Maneka--ruang baca dan kreatif di Pontianak, Kalimantan Barat.
Lulusan Sastra Indonesia UGM ini pernah bergiat di komunitas teater dan film dokumenter di Yogyakarta, penulis lepas, pekerja perbukuan dan penerbitan, dan sekarang bekerja di sebuah stasiun televisi berita di Jakarta.
Sebagai penulis dan editor, ia pernah bekerja di Yayasan IndonesiaTera, Penerbit Liliput, majalah perbukuan Matabaca, dan jurnal Kolong Budaya. Aktivitas berkesenian dimulai dengan menjadi penggembira di Teater Bahana Sastra, Sanggar Shalahuddin, dan Teater Gadjah Mada Yogyakarta, kemudian aktif di Komunitas Dokumenter yang bergiat dalam pendidikan dan pemasyarakatan film dokumenter, antara lain melalui Festival Film Dokumenter yang terlaksana rutin setiap tahun sejak 2001.
Kecintaan pada buku dan aktivitas literasi menggerakkannya mendirikan perpustakaan publik dan komunitas pembaca "DuniaTera" Yogyakarta, juga pengajar kepenulisan kreatif di Aceh, Yogyakarta, dan Jakarta. Beberapa penelitian sosial pernah dilakukannya di Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Aceh. Program pelatihan yang pernah diikutinya antara lain di Ubud Readers & Writers Festival Bali, Goethe-Institut Indonesien Jakarta, Master Class FFD Yogyakarta, dan Deutsche Welle Akademie - Berlin International Film Festival di Berlin Jerman.
Tulisan-tulisannya dimuat di Kompas, Koran Seputar Indonesia, Bernas, Minggu Pagi, Matabaca, Ranesi RNW Belanda, dll. Puisi, cerpen, dan naskah lakonnya pernah memenangi penghargaan lomba penulisan dan dimuat di beberapa antologi bersama. Menulis skenario panjang yang sebagian telah difilmkan, yakni "Wage" (2017). Ia mulai bekerja di tvOne sejak 2008, sebagai periset, reporter, dan penulis naskah, antara lain untuk program talkshow, variety show, religi, film televisi, dokudrama, dan kini menjadi produser program-program dokumenter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar